Minggu, 08 November 2009

ARTIKEL
peranan perguruan tinggi dalam melahirkan guru professional
Kategori : Pendidikan |

HAMPIR semua orang mengakui betapa besarnya jasa guru dalam mencetak generasi bangsa yang terus mengharumkan negeri ini. Namun di balik gemerlap jasa tersebut, tak sedikit muncul kisah-kisah pilu yang menyelimuti eksistensi guru. Ada guru yang nyambi menjadi tukang ojek, pedagang asongan, tukang bakso, dan sebagainya. Kisah-kisah tersebut tentu merupakan sebuah ironi yang mencuatkan sinyal bahwa tingkat kesejahteraan guru masih memprihatinkan. Maka, cukup beralasan jika guru terpaksa melakukan pekerjaan lain di luar profesinya hanya sekadar memenuhi tuntutan ekonomi saban hari.
Oleh karena itu, acapkali profesi guru jarang dilirik karena diasumsikan sebagai profesi inferior. Padahal keberadaan guru, seperti yang tersembul dalam penggalan bait himne guru, laksana embun penyejuk dalam kehausan, serta patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa. Artinya, keberadaan guru adalah hal yang niscaya bagi kehidupan manusia dalam mengenal dunianya. Tak ada yang menyangkal bahwa tanpa guru mustahil lahir generasi jenius berotak Habibie yang akan membangun peradaban di negeri ini.
Akibatnya, profesi guru yang dulu merupakan profesi yang paling bergengsi dan menjadi dambaan bagi generasi muda pada zaman leluhur kita, kini menjadi profesi yang kurang diminati dan dihargai dibanding dengan profesi lainnya. Orang tua akan sangat bangga jika anaknya menjadi seorang dokter, insinyur, tentara, polisi, atau profesi lainnya dibanding menjadi seorang guru.
Pada jaman penjajahan Belanda, status profesi guru memang sangat tinggi. Guru dipandang sebagai pemimpin masyarakat yang disegani dan mempunyai status ekonomi yang relatif tinggi. Dalam buku Siti Sahara, Wanita Guru Pertama dari Mandailing, ditulis, pada tahun 1920-an misalnya, Ibu Guru Siti Sahara mempunyai gaji sebesar 40 gulden sebagai guru Kepala Sekolah Wanita di Bireum. Suatu jumlah yang amat besar waktu itu, mengingat ungkapan pada masa kolonial mengatakan bahwa seorang inlander cukup hidup dengan segobang (2,5) sen sehari.
Pada masa penjajahan Jepang, status profesi guru juga masih terhormat. Para guru diberi julukan Sensei yang dalam kebudayaan Jepang mempunyai kedudukan sosial yang amat dihormati. Dalam masa awal perjuangan kemerdekaan, para guru juga dihargai karena mereka bukan saja mengambil peran amat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga ada yang ikut aktif menjadi tentara rakyat dan berperang mengusir penjajah.
Pascakemerdekaan sampai tahun 1950-an, citra dan status profesi guru dalam masyarakat juga masih tinggi. Para guru masih dilihat dan diperlakukan bukan hanya sebagai pendidik yang pantas digugu dan ditiru di sekolah, tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat yang terhormat. Tingginya citra guru pada zaman penjajahan dan awal kemerdekaan di Indonesia berkait erat dengan citra masyarakat memandang profesi guru.
Pada masa itu, guru dicitrakan amat bagus karena berkait erat dengan status sosial (ekonomis, politis dan budaya) pemegang profesi yang bersangkutan dan kredibilitas profesional para guru. Status ekonomi para guru pada waktu itu memang tinggi. Mereka mendapat imbalan jasa yang memadai untuk hidup sejahtera bersama keluarga.

Mengangkat Citra Guru
Kenapa saat ini citra guru merosot demikian tajam? Banyak hal yang patut dituding sebagai biang keroknya. Tapi yang jelas keterpurukan citra guru sebagai dampak menguatnya paradigma masyarakat bahwa menjadi guru adalah alternatif paling buncit ketika lowongan kerja susah dimasuki sekaligus dipandang sebagai nasib.
Menurut penelitian Martinus Tukir Handoko (1992), dari sekian banyak guru sebenarnya pada mulanya tidak mempunyai motivasi menjadi guru. Pada mulanya, mereka memang bersekolah di Sekolah Pendidikan Guru, tetapi sebenarnya tidak mempunyai maksud menjadi guru. Ada yang karena tidak diterima di sekolah lain, ada yang karena dipaksa orang tuanya, karena ekonomi keluarganya yang lemah, sehingga terpaksa masuk ke pendidikan guru.
Banyak orang tak mau menjalani profesi tersebut, sementara mereka yang sudah menjadi guru beralih ke profesi lain yang memberikan kesejahteraan lebih baik. Menurut data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, jumlah guru SD yang berpindah profesi per Juli 2004 saja sudah mencapai 50,6 persen dari 993.108 guru yang ada.
Hal ini jelas fenomena yang menyesakkan. Dari data tersebut bisa dibaca adanya unsur keterpaksaan menjadi guru, bukan perasaan terpanggil menjadi guru. David Hansen dalam bukunya, The Call to Teach (1995), mengungkapkan bahwa menjadi guru adalah panggilan hidup. Menurutnya, ada dua segi dalam panggilan, yaitu pekerjaan itu membantu mengembangkan orang lain di mana ada unsur sosial di dalamnya, dan pekerjaan itu juga mengembangkan dan memenuhi diri kita sebagai pribadi. Jelas pekerjaan guru terlibat dengan suatu pekerjaan yang mempunyai arti dan nilai sosial, yaitu berguna bagi perkembangan orang lain.
Dalam pekerjaan guru, sangat jelas bahwa mereka melakukan sesuatu pekerjaan yang berguna bagi perkembangan hidup anak-anak, di lingkungan sekolah dan bahkan menyarakat di mana mereka tinggal. Dengan menjalankan tugas sebagai guru yang baik, dengan membantu anak-anak berkembang dalam semua aspek kehidupan, seorang guru semakin merasa hidup berarti, semakin menemukan identitas dirinya, semakin merasakan kepuasan batin yang mendalam (Paul Suparno,2004).
Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), terus berupaya untuk mengangkat citra guru. Tujuannya jelas, agar profesi guru mampu bersaing dengan profesi-profesi lainnya. Untuk mengembalikan citra guru tersebut cara yang ditempuh pemerintah adalah dengan meningkatkan mutu tenaga pengajar di segala jenjang pendidikan dan menaikkan taraf kesejahteraannya.
Dalam Buku Laporan Capaian Kerja Depdiknas tahun 2006 dengan jelas diakui pemerintah bahwa peran pendidik sangat menentukan mutu pendidikan. Di awal pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu ini, pemerintah segera membentuk direktorat jenderal baru yang menangani permasalahan guru dan tenaga kependidikan lainnya, yaitu Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Langkah taktis pun ditempuh. Pemerintah bersama DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang memberikan landasan dan kerangka hukum bagi pengembangan guru dan dosen menjadi profesi. Ditegaskan dalam UU ini, kualifikasi minimal semua guru, terlepas dari jenjang pendidikan yang diasuhnya, adalah S1/D-IV. Sementara untuk dosen program S1 dan diploma minimal harus berkualifikasi S2, dan untuk yang mengajar program S2 dan S3 minimal harus berkualifikasi S3.

Pemberdayaan Guru
Pengesahan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tentu merupakan kabar gembira bagi tenaga pendidik di negeri ini. Dengan menabalkan guru sebagai sebuah profesi yang setara dengan profesi-profesi lainnya segera terbayang taraf kesejahteraan yang seimbang dengan jerih payah dan pengabdian guru di dunia pendidikan.
Namun demikian, implementasi UU ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Sebab, kabar buruk dari dunia pendidikan terdengar demikian jelas. Pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang layak untuk mengajar. Katakan saja, kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar disekolah. Dari sini kemudian diklarifikasi lagi, guru yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru AMP, 75.684 guru SMA, dan 63.962 guru SMK.
Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau budangnya. Dengan kondisi demikian, berapa banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? (Kompas, 5/1/2006).
Ketiga, fakta lain, menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai. Berdasarkan statistik 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34% SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu 17.2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Bila SDM guru kita, dibandingkan dengan negara-negara lain, maka kualitas SDM guru kita berada pada urutan 109 dari 179 negara berdasarkan Human Development Index (Satria Dharma, http://suarakita.com/artikel.html).
Sudarminta (2001) mengatakan, dari sisi guru sendiri rendahnya mutu guru tampak dari gejala: 1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; 2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan di lapangan dijabarkan; 3) kurang efektifnya cara pengajaran; 4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; 5) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru; 6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik; dan 7) relatif rendahnya kapasitas intelektual calon guru dan para guru.
Untuk memenuhi kualifikasi profesi, guru mesti mengikuti uji kompetensi dan sertifikasi dengan sistem portofolio. Dalam UU No. 14/2005 disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik (berijazah S1 atau D4) serta punya kompetensi dan sertifikat pendidik. Untuk sertifikasi ini, 10 komponen portofolio guru akan dinilai oleh perguruan tinggi penyelenggaran sertifikasi. Model sertifikasi seperti ini jamak dilakukan di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.
Langkah dan tujuan melakukan sertifikasi guru adalah untuk meningkat kualitas guru sesuai dengan kompetensi keguruannya. Dalam UU No. 14/2005 juga dijelaskan beberapa hal yang dapat dikelompokan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas atau mutu guru antara lain: [1] sertifikasi guru, [2] pembaruan sertifikat, [3] beberapa fasilitas untuk memajukan diri, [4] sarjana nonpendidikan dapat menjadi guru. Semua guru harus mempunyai sertifikat profesi guru, sebagai standar kompetensi guru.
Aspek sertifikasi guru yang akan diuji adalah mengacu pada kompetensi dasar yang harus dimiliki guru, yaitu kompetensi profesional, persoalan, kepribadian, dan sosial. Pertama, kompetensi profesional. Aspek pada kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan mengajar, meliputi kemampuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, kemampuan dalam menganalisis, penyusunan program perbaikan dan pengayaan, kemampuan dalam membimbing dan konseling. Kemampuan dalam bidang keilmuan, terkait dengan keluasan dan kedalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan ditransformasikan kepada peserta didik, pemahaman terhadap wawasan pendidikan, dan kemampuan memahami kebijakan-kebijakan pendidikan.
Kedua, kompetensi persolan. Aspek pada kompetensi ini berkaitan dengan aktualisasi diri dan menekuni profesi, jujur, beriman, bermoral, peka, luwes, humanis, berwawasan luas, berpikir kreatif, kritis, refletif, mau belajar sepanjang hayat.
Ketiga, kompetensi kepribadian. Aspek pada kompetensi ini berkait dengan kondisi guru sebagai individu yang kepribadian yang utuh, mantap, dewasa, berwibawa, berbudi luhur dan anggun moral, serta penuh keteladanan.
Keempat, kompetensi sosial, aspek pada kompetensi ini berkait dengan kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efesien dengan peserta didik, sesama pendidik dan tenaga kependidikan, kemampuan menyelesaikan masalah, dan mengabdi pada kepentingan masyarakat.
Sertifikasi guru memiliki makna penting dalam reformasi pendidikan di negeri ini. Menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, sertifikasi guru merupakan gebrakan reformasi pendidik terbesar di seluruh dunia. Sebab, dalam 10 tahun, mutu 2,7 juta guru dan 0,3 juta dosen di seluruh Indonesia akan direformasi (Tempo, 3-9/12/2007).

Keterlibatan Perguruan Tinggi
Dalam rangka menyambut gegap gempita reformasi pendidikan, terutama dalam hal peningkatan mutu dan kualitas guru, perguruan tinggi memegang peranan yang sangat signifikan. Apalagi sempat pula terendus praktik culas (oknum) guru dalam uji sertifikasi yang melakukan pemalsuan sertifikat agar bisa lolos sertifikasi. Mereka juga mulai mencari celah agar bisa memenuhi persyaratan undang-undang. Soal keharusan guru menyandang gelar sarjana atau diploma IV misalnya, diakali dengan cara kuliah di perguruan tinggi antah berantah. Yang penting, ijazah sampai di tangan. Mereka pun kerap tergoda mendatangi pabrik gelar pascasarjana karena penyandang gelar S2 mendapat poin tinggi, 325.
Praktis culas inilah yang harus dipangkas. Sebab, praktik tak bermoral tersebut justru menciderai wibawa guru serta semakin menjauhkan guru dari standar mutu dan kualifikasi yang diharapkan. Ngeri kita membayangkan, bagaimana output pendidikan yang dihasilkan oleh (oknum) guru bermental culas tersebut.
Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu mewaspadai fenomena ini. Sebagai wahana pendidikan, perguruan tinggi harus menyiapkan seperangkat aturan, metode, dan strategi pendidikan yang dalam konteks pemberdayaan guru mesti mengacu pada pencapaian standar peningkatan mutu dan kualitas guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar